Dialog Adul dan Tumon (I) - Politik dan Politikus



Dialog Adul dan Tumon (I)
“Politik dan Politikus”

“Demokrasi berasa Teokrasi, kondisi bangsa  akhir-akhir ini, : celoteh Adul.
Seakan tak terima, Tumon yang berada disebelah Adul yang serius dengan ponselnya tiba-tiba  dengan cepat berkata, maksud kau apa Dul?
Saya bingung aja Mon, Pemilu itu sebenarnya jalan baru menuju keadilan atau jalan untuk menuju syurga ?
Emangnya kenapa Dul ? (tanya Tumon)
Diam sejenak kemudian Adul bertanya, Kau lebih memilih pemimpin Adil atau Shaleh Mon ?
Tumon yang masih focus dengan ponselnya balik bertanya, Kalau kau apa Dul?
Kamu ini kalau nyahut serius. Eh, ketika ditanya nggak peduli, Saya memilih pemimpin Adil lah Mon : jawab Adul
Kenapa begitu Dul ? (Tumon masih focus dengan layar ponselnya)
Jawab Adul : Yaaa. Karena, pemimpin yang shaleh sudah pasti adil Mon begitu juga sebaliknya, pemimpin yang adil sudah pasti shaleh, tapi kenapa saya lebih mengatakan pemimpin adil karena kau sedang berharap agar saya menjawab pemimpin yang shaleh (sambil tertawa).
(Dengan kesal Tumon menjawab) Dasar loh Dul potong Tumon, kemudian Tumon bertanya : Berarti sama aja dul ?
Nggak sama Mon, begini Mon (Tumon mulai focus dengan apa yang disampaikan Adul dengan meletakan ponselnya diatas meja dihadapan mereka)
Boleh saja kau katakan pada saya kau memilih pemimpin shaleh, tapi parameter kau tentang orang shaleh itu apa ? Kebanyakan dari kita terlalu rendah dalam menetapkan parameter keshalehan, yaitu menilai keshalehan dari bagaimana seseorang itu berpakaian. Yang jadi soal adalah ada beberapa yang berbuat baik atau berpakain rapi (religi) agar bisa disebut shaleh, memang tak diucapkan tapi terlintas di hatinya agar dipuja dan dianggap demikian, dan sebenarnya keshalehan itu wilayahnya Tuhan, karena itu persoalan hati.
Satu hal yang harus kau ingat Mon bahwa, Keshalehan seseorang itu harus di pertanyakan ketika dia “membutuhkan rekognisi” akan keshalehannya itu, apalagi di musim pemilu (Lanjut Adul)
Tumon : (Bingung, focus ke Adul dan seakan berharap Adul untuk melanjutkan)
Begini Mon, kau tahu kan setiap menjelang pemilihan umum hal pertama yang paling sering kita dengar adalah kata survey, setiap kelompok yang mempunyai hak untuk mengusung calon pasti dimulai dengan survey, kalau dimulai dengan survey orientasi awalnya adalah kekuasaan, bukan sebuah masalah kita candu pada kekuasaan, karena itu adalah wajar tapi yang dituntut disini seharusnya otaknya juga benar-benar candu akan ide untuk mensejahterakan.
Paham kau ? (Tanya Adul).
Paham Dul, tapi hubungannya dengan keshalehan apa? Tumon bertanya.



Begini ya Mon, keshalehan sebagai senjata ampuh untuk menjual populartas seorang yang diusung itu berawal dari cara berpikir untuk mendapatkan kekuasaan. Jadi, yang harus kita tangkap adalah alur berpikirnya Mon, agar kita tidak goblok-goblok amat (hehehe). Jawab Adul  
Iyah saya mulai paham, Terus dul ? Kata Tumon yang berharap lebih
Ya jika kau ingin memilih orang yang shaleh maka pilih lah orang yang benar-benar shaleh agar kau tak dibodohi oleh oknum-oknum yang menutupi kepentingan kelompoknya dengan dalil agama. Jika kau sudah tak punya pilihan kau boleh memilih tapi paling tidak kau tidak dikatakan goblok karena kau paham bahwa kau sedang di bodohi. (kata Adul sambil tertawa lebar)
Jangan tertawa kau Dul, jawab Tumon yang merasa kesal
Saya serius Mon (Sambil tersenyum lebar) kemudian Adul melanjutkan : masih banyak hal lagi Mon yang membuat kita seakan gagal dalam berdemokrasi. Itu sebabnya aku katakakan demokrasi tapi rasanya teokrasi.

(Hening Sejenak)

Tiba-tiba Tumon dengan nada risau Tumon bertanya : Politik sekejam itu yah dul ?
Emang kenapa Mon ? (tanya Adul)
Jawab Tumon : Nggak sih, kemarin waktu saya coba survey kepada anak-anak SMP dan SMA tentang apa itu politik, hampir dari mereka, semua menjawab : kalau saya coba simpulkan jawabanya, kebanyakan jawabannya adalah sinonim dari kata tidak baik Dul, misalkan : Korupsi, Rakus, Nggak Beradab dll dul.
Adul menjelaskan : Begini Mon, kalau kita coba lihat lebih dalam, cara pandang seseorang itu dibentuk dari bagaimana akalnya mengolah apa yang diamati oleh indarnya, jadi ketika adik-adik kita di jenjang pendidikan SLTP atau SLTA menjawab seperti itu, saya rasa wajar-wajar saja, karena yang ditemui dalam lingkungan mereka hanya sebatas itu, Informasi yang di konsumsi melalui media yang berhubungan dengan politik yah seperti itu, seperti dengan hasil survey kau itu.  Tapi, jika dari mereka ada yang sering menggunakan indra mereka untuk mengamati lebih dari itu, dan akal mereka bekerja lebih keras untuk mengolah apa yang diamati itu, mungkin terjadi cara pandang mereka tidak seperti itu.
Kemudian sambil tersenyum lebar Adul melanjutkan : Tapi, kalau kamu Mon Mahasiswa semester lima cara padangnya sama dengan mereka, maka saya ingin tertawa lebar Mon.
Ngejek yah dul? (potong Tumon dengan nada kesal)
Potong Adul sambil bercanda : Kalau nggak mau diejek makannya gunakan indra kau untuk mengamati hal-hal disekeliling kau lebih keras, atau sering-seringlah ngajak tu mata kau dengan ikhlas untuk menjelajahi Yunani Kuno Mon, hehehe (tertawa kecil), biar alam pikiran kau itu tidak sama dengan mereka Mon, paling rendah satu tingkat diatas mereka lah. Atau secara pengetahuan kau layak disebut mahasiswa bukan SMA kelas lima (Adul tertawa lebar)
Temon dengan tatapan tajam kepada Adul yang masih sementara tertawa,
Setelah tenang, dengan serius Adul mengatakan: Untuk menjawab pertanyaan kau tadi aku mau jelasin gini Mon, kita harus bedakan partai sebagai institusi politik dan politik sebagai suatu konsep kenegaraan,
Adul melanjutkan : Rocky Gerung, Dosen Filsafat UI mengatakan bahwa Politik pernah disebut sebagai The Highest Of All Sciences (yang tertinggi dari semua ilmu-ilmu) Karena wilayah kerja politik adalah mendistribusikan keadilann, itu sebabnya politik adalah investasi peradaban bukan investasi kekuasaan Mon, yang jadi soal kita tidak bisa melihat politik sebagai sebuah konsep.
Dengan nada bingung, Tumon bertanya : Lalu dul orang-orang yang berada didalam institusi politik paham nggak, kalau kerja mereka sangat begitu mulia  yaitu mendistribusikan keadilan ?
Adul dengan ekspresi merasa lucu kemudian menjawab : Kalau mereka paham harusnya, hasil survey kau terhadap anak-anak SLTP dan SLTA tidak akan menghasilkan jawaban demikian, karena anak-anak SLTP dan SLTA hanya mengatakan apa yang diamati oleh indra mereka, sangat jelas yang mereka lihat adalah praktek dari orang-orang yang merupakan bagian dari institusi politik, yang sangat nampak dalam menginvestasikan kekuasaan ketika sedang berkuasa, sehingga muncullah segala jenis kalimat dari mereka yang memiliki makna tidak baik dari segi moral.
Kalu mereka paham harusnya mereka lebih sibuk untuk mengukir prestasi bukan sibuk untuk mempromosikan diri ataupun jalan-jalan ke luar negeri.
Saya mau katakan mereka paham Mon, tapi kalau mereka paham harusnya mereka tidak mencoba menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, yang lebih parahnya mereka mencoba membungkus misi untuk mendapatkan kekuasaan dengan jargon keshalehan, mencoba menutup ruang berargumentasi dengan ayat suci, apakah kita yang terlalu taat kepada Tuhan atau terlalu goblok sehingga dibodohi ?
Itu sebabnya dalam memilih pemimpin, parameter yang harus digunakan adalah sejauh mana si calon mampu mendistribusikan keadilan bukan seberapa shaleh si calon tersebut, karena sudah saya katakan tadi bahwa keshalehan hanya mampu diukur oleh Tuhan, dan politik adalah kerja untuk mendistribusikan keadilan.
Tumon berkata : Kau serius amat Dul, (Senyum Lebar
Kemudian temon melanjutkan : mungkin mereka paham dul tapi pengetahuan mereka kalah telak ketika diadu dengan kerakusan, pengetahuan mereka mendesak mereka untuk bagaimana melakukan pendidikan politik, tapi kerakusan mereka justru menghalangi mereka untuk melakukan pendidikan politik agar misi merebut kekuasaan nggak ada hambatan. Akhirnya mereka pun dilema antara tuntutan logika dan nafsu.
Kau dapat jawaban dari pertanyaanmu sendiri tuh (jawab Adul sambil tertawa)
Dasar kau Dul, ayo balik nanti besok kita lanjutkan lagi : Potong Tumon

Buta terburuk adalah buta politik. Orang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar “Aku Benci Politik!”, sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan dan yang terburuk: korupsi dan perusahan multinasional yang menguras kekayaan negeri
Bertolt Brecht – Penyair dan Dermawan Jerman

Ternate, 09 Januari 2018
Oleh : Abd. Wahab A.Rahim

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEASISWA LPDP? Mari Berbagi Cerita – APA SAJA YANG DISELEKSI - LPDP 2021

Jejak - Desa Pelita Di Hari Kedua

Catatan Perindu yang tak pernah Dirindu - Quotes