Jejak - Menepi Sejenak... Desa Pelita



17 April 2021...

Dari Desa Hidayat menuju ke Desa Belang-Belang... Ketika semesta tidak bersahabat, maka kita harus melewati jalur alternatif, hari ini pelabuhan Habibie Desa Labuha tidak memungkinkan untuk melakukan penyebrangan. Mencari alternatif, menuju Desa di seberang sana, Desa Pelita.

Pukul 16.40 kapal kayu bertolak menuju Desa Pelita, 17.58 sampai di pelabuhan Desa Pelita, cuaca kali ini tidak seperti di pagi hari, cukup bersahabat, jalur Belang-Belang menuju Pelita.


Malam pertama.

Malam ini bulan bersahabat, berbentuk sabit ditemani ribuan bintang yang begitu memanjakan mata. Tepat di bawah satu-satunya lampu pelabuhan yang menyala, kusandarkan tubuh ini ke tiang kokoh yang menopang lampu, ditemani segelas kopi, beralas sendal dan angin laut malam yang begitu menyegarkan... Keadaan Desa yang tentram dan jauh dari hiruk piruk kota yang penuh dengan penghianatan.

Suara air laut cukup menghibur, menemani aku menjelajah tiap makna dalam kata untuk bisa dituliskan. Entah apapun itu. Malam pertama di Desa tanpa ada jaringan internet, kecuali di beberapa titik, nyala lampu yang menggunakan jadwal, itu sebabnya baru beberapa jam aku disini, aku sudah mendengar ibu-ibu yang mengeluh ketika jadwal nyala lampu mereka dikorupsi tidak sesuai dengan yang dijadwalkan.

Sebenarnya lampu telah normal, 12 jam menyala pada malam hari, belakangan ada cuaca buruk yang menimpa mesin PLN sehingga merusak beberapa alat terkait penerangan, itu sebabnya menggunakan jadwal nyala lampu, sebuah frasa yang populer "PLN Tako Angin".

Selain suara air laut dan angin malam, ada juga suara ayat suci Al-Quran yang keluar dari corong mesjid, dengan nada bacaan tradisional yang sangat menenangkan, Ramadhan... Kita biasa menyebutnya dengan Tadarusan.

Beberapa menit menjelang pukul sepuluh, ada beberapa anak yang menghampiriku sambil berteriak "Ka Abdul makan, dipanggil ibu negara". Saya tertawa sambil berdiri, menggunakan sendal, membawa secarik kertas dan pena, lalu seorang anak menawarkan membawa gelas kopi saya, dicicipinya sedikit, bunyi ketika dia menyeruput kopi terdengar setidaknya oleh saya, "pahit, saya tra bisa minum" keluhnya, tawa pun pecah diantara aku dan 4 orang anak lelaki ini.


Setelah sampai di rumah, saya ditawarkan makan, karena saya masih cukup kenyang dengan sisa buka puasa yang saya habiskan setelah Magrib, pisang goreng, kamplang dan beberapa kue pelita.

Ibu negara kemudian berkata kepada saya dari seberang meja makan, kita duduk berhadapan "do you wanna meet with other people? Just for talk something", saya tersenyum dan menjawab, "haruskah menggunakan bahasa inggris?" dia tertawa dan menjawab "tes saja, ada yang bilang ngoni jago bahasa inggris".

Saya kemudian berdiri, memundurkan kursi lalu keluar dari meja makan. Dengan nada keheranan ibu negara bertanya "mo kemana?", Saya menjawab "katanya mau ketemu beberapa orang, cuss".


Bertamu...

Galari adalah modal, kata-kata adalah kekuatan, bertanya adalah sebaik-baik membuka percakapan.

Jika kalian bertemu dengan orang baru, jadilah seperti gelas kosong dan biarkanlah kalian diisi, demikian pesan Bob Sadino. Tapi saya selalu berpikir, terkait pesan Om Bob semua tergantung konteks, kemampuan membaca kontekslah yang diperlukan dalam situasi baru.

Om Katinting, begitu saya menyebutnya...

Setelah bertanya tentang siapa saya, ditemani oleh Ibu Om Katinting, saya ditawarkan segelas kopi, soal kopi saya tak bisa menolak, saya mendengar ceramah tentang ikan, dunia perkatintingan dan lain sebagainya yang berhubungan soal laut, saya awam, banyak hal yang tidak saya mengerti tapi saya bisa menikmati percakapan malam ini.

Ka Ayub bersama Istri Ka Jamaliah...

Kata Ibu Negara saya tidak bisa memanggilnya om, walau sudah om-om karena pangkatnya itu adalah kakak.

Secara kebetulan ada tamu lain yang disambut oleh Ka Ayub, saya diminta untuk memanggilnya Jo Adam.

Saya ditawarkan makan, ada popeda yang telah disiapkan dengan pisang rebus lengkap dengan kuah kuning, dabu-dabu dan ikan segar... Lezat, tapi saya masih cukup kenyang. Ibu Negara yang menikmati hidangan malam itu bersama dengan Jojo Adam sambil diiringi canda dan tawa, pecah penuh kehangatan malam ini. Mulai dari Ka Jois yang mengenalkan dirinya dan keluarganya, pembahasan merambat ke sholat tarawih yang bisa diisi para jujaru yang sibuk membicarakan ngungare sampai pada beberapa gosip yang mereka bicarakan, dan saya tertawa menikmati apa yang mereka bicarakan, mencair.

Rumah Om Tu...

Berbeda dengan dua rumah sebelumnya, Om Sabtu lebih santai menceritakan anaknya yang seumuran dengan saya, kelahiran Juli 1998 yang saat ini lagi berjuang demi sebuah kata "lulus" di salah satu sekolah pelayaran di Bitung, saya dua bulan lebih tua darinya. Percakapan ditutup dengan, besok saya diminta untuk mengambil kelapa muda di rumahnya menjelang buka puasa.


Saya cukup lelah malam ini, berbincang-bincang dari tiga rumah yang saya masuki, lebih tepatnya sebagai seorang pendengar. Saya balik ke rumah, membuka dua buku yang saya bawa di perjalanan ini, Animal Farm karangan George Orwell yang diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi dengan judul Binatangisme dan buku Rebel Notes, Catatan Seni Para Pemberontak, buku ini merupakan kumpulan tulisan para tokoh mulai dari John Lennon, Kurt Cobain, sampai Bob Marley dll, yang diterjemahkan oleh Adhe Ma'ruf.


Sekilas saya melihat jam di HP saya waktu menunjukan pukul 00.06... Perlahan saya terlelap.


Catatan:

Ibu Negara adalah panggilan candaan dari anak-anak di Desa Pelita untuk Ibu Kades, saya menumpang di rumah mereka, tepatnya di rumah orang tua Bapak Kepala Desa.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEASISWA LPDP? Mari Berbagi Cerita – APA SAJA YANG DISELEKSI - LPDP 2021

Jejak - Desa Pelita Di Hari Kedua

Catatan Perindu yang tak pernah Dirindu - Quotes